Menjelang akhir 1950-an, situasi di Sumatera tegang. Sejumlah tokoh
masyarakat, polisi dan militer yang tidak puas pada kebijakan Presiden
Soekarno di Jakarta, mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI).
Hal ini juga terjadi di Sumatera Tengah. Sebagian polisi dan tentara RI menyeberang ke pihak PRRI. Saat itu Komisaris Besar Kaharoeddin menjabat Komandan Polisi Sumatera Tengah. Sebagian anak buahnya pun lari dan bergabung dengan PRRI. Situasi serba genting dan tak menentu.
Tanggal 10 Februari 1958, Wakil Komandan Brimob Kepolisan Negara, Kombes Sutjipto Judodihardjo, datang ke Sumatera Tengah. Dia menemui Kaharoeddin dan menyerahkan uang Rp 5 juta untuk bantuan pada Kepolisan Sumatera Tengah. Diharapkan uang ini bisa jadi dana operasional kepolisian jika situasi di Sumatera terus memburuk. Demikian dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
Saat itu jumlah uang Rp 5 juta sangat luar biasa. Gaji Kombes Kaharoeddin hanya Rp 1.230. Jadi uang Rp 5 juta itu setara dengan 4.000 kali gaji Kapolda. Jika dihitung, uang ini juga bisa menggaji seluruh anggota polisi di Sumatera Tengah selama enam bulan. Kalau misalnya gaji Kapolda saat ini Rp 10 juta, maka jumlah uang itu kira-kira Rp 40 miliar.
Maka Kaharoeddin kemudian membagikan uang itu ke kepolisian tingkat Kabupaten/Kota serta kecamatan. Setara Polres dan Polsek. Ketika itu, uang tersebut sisa Rp 3,2 juta.
Kondisi terus memburuk, Kaharoeddin pun harus bersembunyi di tempat aman. Di persembunyian dia bersama pasukan TNI AD yang juga tidak memihak PRRI. Pasukan kecil itu dikepung pasukan PRRI yang kuat.
Walau punya dana Rp 3,2 juta, Kaharoeddin tak mau menggunakannya selama dalam pelarian. Uang ini tetap utuh, dan hanya digunakan untuk kepentingan operasional yang sangat mendesak. Kaharoeddin juga menolak saat Kapten Noermathias, pimpinan TNI AD di sana hendak meminjam uang itu untuk keperluan pasukannya.
"Saya pinjamkan nanti uang itu habis begitu saja. Bagaimana nanti menggantinya," kata Kaharoeddin.
Karena was-was, akhinya Kaharoeddin menitipkan tas berisi uang itu pada istrinya, Mariah. Dia pesan agar menjaga baik-baik tas dan isinya karena merupakan milik kepolisian. Saat dibuka, isinya masih Rp 3,2 juta. Ada juga tanda terima dan kwitansi dari beberapa kepala polisi.
Pada pertengahan Mei 1958, pasukan TNI dari Jakarta berhasil merebut Bukittinggi dan mematahkan perlawanan PRRI. Maka uang operasional itu diserahkan secara utuh oleh Kaharoeddin, pada penggantinya Kombes Soewarno Tjokrodiningrat. Serah terima dilakukan secara tertib administrasi dan lengkap dengan dokumen serah terima.
Saat itu banyak orang yang geleng-geleng kepala melihat kejujuran Kaharoeddin. Namanya saat perang, tidak ada pertanggungjawaban penggunaan uang. Bisa saja sebenarnya Kaharoeddin menghabiskan uang itu, toh tidak akan ada yang mencarinya. Lagipula uang itu sudah dipercayakan sepenuhnya pada Kaharoeddin.
Namun Kaharoeddin tetap menjaga keteladanannya. Dia tidak mau korupsi.
"Kakek saya memang jujur. Jangankan uang, dia juga tidak mau menggunakan fasilitas dinas. Saat menjabat Gubernur Sumatera Barat, anaknya hendak menikah. Tapi Kakek tidak mau anaknya menikah di Gedung Gubernuran," kata cucu Kaharoeddin, Aswil Nasir, saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Hal ini juga terjadi di Sumatera Tengah. Sebagian polisi dan tentara RI menyeberang ke pihak PRRI. Saat itu Komisaris Besar Kaharoeddin menjabat Komandan Polisi Sumatera Tengah. Sebagian anak buahnya pun lari dan bergabung dengan PRRI. Situasi serba genting dan tak menentu.
Tanggal 10 Februari 1958, Wakil Komandan Brimob Kepolisan Negara, Kombes Sutjipto Judodihardjo, datang ke Sumatera Tengah. Dia menemui Kaharoeddin dan menyerahkan uang Rp 5 juta untuk bantuan pada Kepolisan Sumatera Tengah. Diharapkan uang ini bisa jadi dana operasional kepolisian jika situasi di Sumatera terus memburuk. Demikian dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
Saat itu jumlah uang Rp 5 juta sangat luar biasa. Gaji Kombes Kaharoeddin hanya Rp 1.230. Jadi uang Rp 5 juta itu setara dengan 4.000 kali gaji Kapolda. Jika dihitung, uang ini juga bisa menggaji seluruh anggota polisi di Sumatera Tengah selama enam bulan. Kalau misalnya gaji Kapolda saat ini Rp 10 juta, maka jumlah uang itu kira-kira Rp 40 miliar.
Maka Kaharoeddin kemudian membagikan uang itu ke kepolisian tingkat Kabupaten/Kota serta kecamatan. Setara Polres dan Polsek. Ketika itu, uang tersebut sisa Rp 3,2 juta.
Kondisi terus memburuk, Kaharoeddin pun harus bersembunyi di tempat aman. Di persembunyian dia bersama pasukan TNI AD yang juga tidak memihak PRRI. Pasukan kecil itu dikepung pasukan PRRI yang kuat.
Walau punya dana Rp 3,2 juta, Kaharoeddin tak mau menggunakannya selama dalam pelarian. Uang ini tetap utuh, dan hanya digunakan untuk kepentingan operasional yang sangat mendesak. Kaharoeddin juga menolak saat Kapten Noermathias, pimpinan TNI AD di sana hendak meminjam uang itu untuk keperluan pasukannya.
"Saya pinjamkan nanti uang itu habis begitu saja. Bagaimana nanti menggantinya," kata Kaharoeddin.
Karena was-was, akhinya Kaharoeddin menitipkan tas berisi uang itu pada istrinya, Mariah. Dia pesan agar menjaga baik-baik tas dan isinya karena merupakan milik kepolisian. Saat dibuka, isinya masih Rp 3,2 juta. Ada juga tanda terima dan kwitansi dari beberapa kepala polisi.
Pada pertengahan Mei 1958, pasukan TNI dari Jakarta berhasil merebut Bukittinggi dan mematahkan perlawanan PRRI. Maka uang operasional itu diserahkan secara utuh oleh Kaharoeddin, pada penggantinya Kombes Soewarno Tjokrodiningrat. Serah terima dilakukan secara tertib administrasi dan lengkap dengan dokumen serah terima.
Saat itu banyak orang yang geleng-geleng kepala melihat kejujuran Kaharoeddin. Namanya saat perang, tidak ada pertanggungjawaban penggunaan uang. Bisa saja sebenarnya Kaharoeddin menghabiskan uang itu, toh tidak akan ada yang mencarinya. Lagipula uang itu sudah dipercayakan sepenuhnya pada Kaharoeddin.
Namun Kaharoeddin tetap menjaga keteladanannya. Dia tidak mau korupsi.
"Kakek saya memang jujur. Jangankan uang, dia juga tidak mau menggunakan fasilitas dinas. Saat menjabat Gubernur Sumatera Barat, anaknya hendak menikah. Tapi Kakek tidak mau anaknya menikah di Gedung Gubernuran," kata cucu Kaharoeddin, Aswil Nasir, saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
0 komentar:
Posting Komentar